CERITA SEDIH : Rindu Yang Tak Pernah Lekang

Cerpen Karangan: Husni Mubarok

Aku selalu menulis di diary hitamku yang sehitam mimpi-mimpiku. Sehitam rindu yang tak pernah lapuk, seiring zaman yang semakin kejam memenjaraku dalam kesunyian. Selalu ku tulis di akhir halamanku: diary, aku merindukan Mama dan Papa. Halaman-halaman itu semakin buram, seburam mataku yang berlinang air mata. Maka setelah itu aku selalu menutup diary hitamku dan kembali asyik dengan duniaku yang sunyi.

Aku terbangun dari mimpi panjangku ketika ku dengar suara ribut dari ruang sebelah. Disusul suara tembakan membahana. Satu tembakan menyusul suara tembakan yang selanjutnya. Aku terperanjat dan segera berlari ke ruang tamu, tiba-tiba tercium bau anyir darah. Tidak! Baru kali ini aku membaui bau anyir yang sangat pekat menyengat hidungku. Ku ikuti sumber bau itu. Bau anyir itu menuntunku menuju kamar Mama yang tak terlalu jauh dari ruang tamu. Pintu kamar itu terbuka beberapa senti. Lambat-lambat ku dengar suara isak tangis seorang lelaki.

Papa. Ya, itu suara Papa. Ada apakah gerangan? Aku tidak bisa memendam semua rasa penasaranku yang membuncah. Hingga kenop pintu ku buka, dan pada saat itulah aku melihat Papa menangis dengan suasana yang begitu tragis. Di sudut ruangan kamar yang menguarkan kengerian yang mencekam, mataku menangkap dua sosok tubuh tak bernyawa. Tergeletak tak berdaya di atas lantai putih dengan genangan darah merah yang seperti membara. Tidak! Aku tahu, salah satu dari tubuh bersimbah darah itu adalah tubuh Mamaku. Dan satu lagi, aku tak tahu pasti siapa dia. Seorang lelaki dengan pakaian yang nyaris telanjang. Darah bersimbah diamana-mana. Dari sanalah sumber bau anyir menyengat itu.

“Papa!”

Papa mendongak dengan tatapan tak percaya. Aku berlari dengan berurai air mata. Aku benar-benar yakin Papa telah membunuh Mama. Papa seorang pembunuh! Aku berlari ke luar rumah dengan air mata yang semakin menggenang di kedua pipiku. Oh Tuhan, Papa mengejarku. Apakah dia juga ingin membunuhku? Aku menghentikan langkah kakiku dan lututku gemetar memikirkan hal itu. Aku terduduk di atas rerumputan yang masih basah dengan embun pagi. Aku gemetar saat Papa mendekatiku.

“Papa. ke-kenapa ma-ma di–” Papa meraihku dan memeluk tubuhku yang gemetar ketakutan. Dia mencium keningku dengan penuh sayang. Ku rasai detak jantungnya dan gemetar tangannya. Desah napasnya dan air matanya membasahi punggungku. Papa membelai rambutku dengan penuh cinta.
“Kenapa Papa membunuh Mama?”
Papa menatapku sayu, “Tidak sayang, Papa tidak membunuh Mamamu. Mamamu setia kepada Papa. Tetapi wanita itu mengkhianati cinta Papa. Itu bukan Mama yang selama ini Papa kenal.”
“Tidak! Itu benar-benar Mama yang aku kenal,” batinku berontak.
Aku tak pernah mengerti dengan semua kata-kata Papa. Aku hanyalah bocah berumur belasan tahun yang tak tahu apa-apa. Aku suka pelukan Papa, tapi aku juga masih menginginkan belaian kasih Mama. Oh Papa, kenapa kau lakukan itu?

Sepanjang malam itu aku menangis dan Papa mendiamkanku karena dia juga selalu menangis sesering aku menangis. Itu yang aku tahu jika ku lihat matanya sebak. Nenek selalu bertanya kenapa kau selalu menangis. Papa menjawab bahwa aku sedang sakit. Ingin sekali aku mengatakan yang sebenarnya pada Nenek, tapi Papa bilang, jika aku mengatakan hal yang sebenarnya, Papa akan masuk penjara dan tidak akan bisa mengurusku lagi. Nenek juga bertanya ada apa sampai pulang ke desa tanpa ada pemberitahuan dahulu. Dan kenapa pula Mamaku tidak ikut.
“Dia sedang ada urusan.” Jawab Papa dengan suara bergetar. Sementara Adikku selalu tertawa dan asyik dengan teman-temannya.

Aku masih ingat dengan kepergian kami bertiga. Papa, aku dan Adikku meninggalkan rumah dengan tatapan curiga para tetangga. Curiga dengan keributan, suara tangisanku, atau wajah Papa yang misterius, barangkali. Maka sepanjang perjalanan itu menangislah aku. Sementara Papa mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Aku selalu terkesiap jika mobil melewati tikungan tajam atau jalanan menurun. Beruntung jalanan itu lenggang dengan kendaraan.

“Papa!!!” seruku memperingatkan.
“Diam!!” Bentak Papa dan mobil tiba-tiba direm mendadak sebelum menabrak bebatuan tebing yang mencuat di kiri kanan jalanan. Papa memukul dahinya dan untuk kesekian kalinya dia kembali menangis sesenggukan. Aku tahu Papa tertekan dan shock dengan apa yang selama ini dia lakukan. Apakah Papa menyesal telah membunuh Mama dan seorang laki-laki yang entah siapa?

Dua hari kami di desa Nenek. Tiba-tiba saja datang beberapa orang polisi untuk menangkap Papa.
“Bapak Darma telah melakukan pembunuhan dua orang sekaligus, termasuk istrinya dua hari yang lalu.” Terang seorang polisi ketika Nenek bertanya pada mereka. Nenek shock dan tiba-tiba tubuhnya menggelosor tak berdaya. Papa tampak terdiam sayu.
Tanpa ku duga Papa mengeluarkan sesuatu dari pinggangnya dan..

Dorr!! Dorr!! Dorr!!!

Dua polisi meregang nyawa di teras rumah Nenek. Aku mencium darah yang aromanya tak jauh beda dengan bau anyir tiga hari yang lalu. Papa telah membunuh empat orang dalam tempo lima hari. “Papa memang seorang pembunuh!” Rutukku dalam hati.

Dorr!!

Satu suara tembakan semakin membuat aku terbelalak tak percaya. Papa menembak sendiri kepalanya sebelum polisi lain menembak kedua betisnya. Ku dengar pula teriakan Adikku yang tak ingin aku dengar. Pandanganku gelap dan untuk selanjutnya aku tidak ingat apa-apa.

Beberapa hari setelah itu Nenek jatuh sakit. Aku benar-banar semakin menderita. Tanpaknya air mata telah habis untuk menangisi semua yang aku alami. Ingin sekali mulutku menyumpah Papa dan mencerca Mama yang telah membuat hidupku hancur dalam tempo yang begitu cepat. Takdir berkata lain. Nenek meninggal dunia karena penyakit jantungnya dan aku tahu, Nenek meninggal dengan membawa kesedihan. Jika aku dibolehkan untuk memilih antara hidup dan mati, maka aku lebih memilih mati saja. Menyusul Papa, Mama, dan Nenek yang selama ini menyayangiku. Hingga akhirnya Paman Salim membawa kami berdua yang telah yatim piatu, aku dan Adikku yang masih balita ke kotanya.

Paman Salim adalah Adik Papaku. Mereka mengontrak rumah di sebuah kota Provinsi yang berbeda. Tapi sungguh tak pernah ku duga mereka membawaku ke rumahku kembali. Rumah yang selalu membayangiku dengan aroma darah yang menguar beberapa waktu yang lalu. Tidak! Aku tidak ingin kembali lagi untuk selama-lamanya.. aku ingin melupakan ketragisan itu
Paman mencoba membujukku.

“Dari pada paman harus mengeluarkan uang tiap bulan untuk mengontrak, lebih baik paman mendiami rumah Papamu. Insya Allah, semuanya akan baik-baik saja.” Ujar paman ketika aku melayangkan ketidaksetujuan itu padanya.
“Kamu jangan mengingat-ngingat terus Papa-Mamamu sayang. Kalian masih punya Paman dan Bibi yang menyayangi kalian.” Hibur Bibi Santi suatu hari ketika didapatinya aku menangis tergugu. Dan benar apa yang telah dikatakan Bibi, mereka menyayangi aku dan Adikku seperti orangtua terhadap anaknya sendiri.
Tapi kasih sayang itu tidak akan bisa meluruhkan kesedihan dan air mata yang telah bersemayan di hatiku. Bayangan Papa dan Mama tak akan pernah lekang dari kedua pelupuk mataku.

Potret Papa dan Mama ku gantung di dinding dengan pigura yang indah. Mereka tersenyum bahagia. Papa merangkul Mama bersama aku dan Adikku. Aku seperti tersedot oleh lorong waktu. Lalu kenapa keceriaan itu harus berakhir dengan tragis? Kenapa mereka harus meregang nyawa di saaat aku masih membutuhkan kehangatan kasih mereka? Di saat mereka belum cukup tua untuk meninggalkan dunia. Mama meninggal pada usia 30 tahun dan Papa 32 tahun. Paman dan Bibi pernah mengambil pigura itu dan diam-diam membuangnya ke tong sampah tanpa sepengetahuanku. Tapi aku berhasil mengetahuinya dan aku mengambilnya kembali untuk dipasang di tempat semula. Lalu kutanya kenapa mereka membuangnya.
“Paman tak ingin kamu murung dan selalu menangis dengan keberadaan potret itu.”
“Tidak! Aku akan mengenangnya paman. Hingga akhir hidupku, atau mungkin hingga aku bosan karenanya.” Tapi sampai kapankah aku bisa bosan.

Dua tahun berlalu. Aku masih berteman dengan mimpi yang ku karang sendiri. Tentang Mama dan Papa dan tentang semua kepedihan yang ku rasa. Kadang aku tertawa bila mengenang semua yang pernah aku alami bersama mereka berdua. Tertawa mengenang canda tawa, menangis dan histeris bila malam menyergapku ke dalam kesunyian yang semakin mencekam. Tak ada yang bisa mengobati kesunyian dan rasa rinduku ini selain Papa dan Mama yang telah menambatkan semua cinta kasih itu di seluruh ruang hatiku.

Paman dan Bibi merasa khawatir dengan kondisiku dan membawaku ke psikiater. Untuk apa aku dibawa ke sana? Aku harus dibawa satu minggu sekali secara rutin. Jika masa tiga bulan belum ada perubahan aku disarankan dibawa ke rumah sakit jiwa karena aku di diagnosis paranoia. Sejak saat itu aku tak pernah lagi percaya terhadap psikiater. Aku menganggapnya hanya seorang pembohong dan mulut besar. Itu asumsiku. Tapi parahnya Paman dan Bibiku lebih percaya terhadap psikiater itu ketimbang keponakannya sendiri, bah!

Tiga bulan setelah itu Paman benar-benar membawaku ke rumah sakit jiwa.
“Paman! Aku tidak gila!”
Paman mengeluh panjang dan Bibi mengusap air matanya.
“sayang, tiap minggu kami akan selalu menengokmu. Kamu pasti akan rindu terhadap adikmu bukan?”
Tinggallah aku di lingkungan yang terasa asing bagiku, tempat yang benar-benar membuatku semakin frustasi setengah mati. Tak ada lagi potret Mama dan Papa. Hari-hariku ku jalani dengan beban rindu yang menyiksa perasaan.

“Paman, bawa potret itu ke sini.” pintaku saat Paman menengokku minggu berikutnya. Paman hanya mengangguk lemah. Namun tak pernah sekalipun Paman membawanya.
Aku membenci semua penghuni rumah sakit jiwa. Kenapa pula aku harus hidup di tengah orang-orang seperti mereka. Apa salahku? aku hanya merindukan kedua orangtuaku dan aku hanya menumpahkan rindu yang tak terperi itu dengan apa yang aku mau. Bukan apa kehendak Paman dan Bibiku. Apalagi psikiater pembohong itu.

Selalu ku tulis surat untuk mereka -orangtuaku. Surat rindu yang tak akan pernah lekang dalam mimpi-mimpi sekalipun. Bila angin lewat, ku robek-robek secarik surat itu hingga menjadi serpihan-serpihan kecil. Biarlah angin yang berkesiut itu mengantarkan pesanku pada Mama dan Papa. Atau aku bakar surat itu dan ku tabur abunya di kolam taman. Aku harap mereka menyampaikan rindu ini pada bumi sebagai tempat terakhir orangtuaku bersemayam. Aku.. ah, aku terlampau rindu.

Semua perawat di tempat ini sungguh menjengkelkan. Tapi tiba-tiba ada seorang berjilbab yang belum pernah ku jumpai sebelumnya. Mungkin ia perawat baru di sini. Ia baik sebaik Mamaku dulu. Mengajakku bercerita dan bercanda. Ia periang seperti periangnya Papaku. Ia selalu mengajakku bermain dan seakan-akan ia adalah titisan dari kedua orangtuaku. Aku merasakan kehadiran Mamaku di sini.

“Apa Ibu juga menganggapku gila?” tanyaku suatu hari.
Perempuan itu terperanjat mendengar pertanyaanku. “Tidak, kamu anak yang baik. Siapa bilang kamu gila.”
“Kata orang-orang.”
Perempuan itu tersenyum dan mencoba meyakinkanku bahwa aku baik-baik saja. Dan aku percaya kepadanya, karena aku tahu, dia tak pernah berbohong sebagaimana berbohongnya psikiaterku dulu.

Suatu hari ia menemukan diary hitamku. Diam-diam dia membacanya dengan tuntas, lantas menatapku.
“sayang, kamu…” dia tidak meneruskan kata-katanya dan tiba-tiba ia memelukku dalam kehangatan kasih sayangnya. Tiba-tiba aku merasakan pelukan Mama.
“Mama.”
Perempuan itu mengangkat daguku. “sayang, kamu tahu dunia ini belum berakhir. Kamu masih punya orang-orang yang menyayangimu. Jangan kau biarkan dirimu menderita seperti itu.”
“Aku hanya rindu Mama dan Papa.”
“Tapi kamu tak pernah sekali pun merindukan Tuhan yang telah menciptakan Mama dan Papamu.”
“Karena Tuhan telah mengambil nyawa Mama dan Papaku.” bantahku.
“Tapi Tuhan telah memberimu kesempatan untuk merasakan kasih sayang mereka berdua. Kau tahu? Tuhan juga memberimu rasa rindu itu.”

Aku terdiam dan mencoba mencerna setiap kata-katanya.
“Apa yang terjadi jika seandainya Tuhan tidak pernah memberimu kesempatan untuk bisa melihat kedua orangtuamu. Atau kau tidak terlahir dari Mamamu?” lanjutnya dan tatapannya menyisir setiap relung hatiku. Dia tersenyum dan melanjutkan kata-katanya, “Ibu ingin melihatmu tersenyum.”
Entah kenapa, aku terdiam dalam tangis. Tapi tangis saat ini berbeda dengan tangisan sebelum ini. Aku merasakan kehangatan menjalari hatiku. Aku merasakan getar kerinduan pada Tuhan yang selama ini aku nyaris melupakannya.

“Antarkan aku pulang.” Lirihku dan perempuan itu mengangguk senang dan kembali membenamkan kepalaku pada pelukannya.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »