CERPEN : Terkadang takdir seperti lelucon

Kiriman Dari: Ifarifah

Gadis itu sendiri dengan pandangan menerawang entah kemana. Udara dingin yang menusuk tidak dihiraukannya. Entah tidak dihiraukan atau kulitnya memang sudah terbiasa. Beberapa kendaraan melintas di hadapannya, tapi tidak menciptakan perubahan reaksi apapun dari gadis tersebut.
Tiba-tiba sebuah uang logam berputar pelan di kakinya. Membuat gadis itu mendongak, ternyata seseorang telah melemparkan uang logam tersebut kepadanya. Gadis itu hanya tersenyum kecut tanpa menghiraukan uang logam itu. Kemudian ia beranjak dari duduknya dan berjalan menelusuri trotoar.
“Mereka pikir aku butuh uang itu? Mereka pikir aku siapa?” Gumamnya pelan.
“Heh kau!” Teriak seseorang.
“Heh kau! Gadis berbaju abu-abu” Tambah orang itu lagi.
Gadis itu berhenti. Sejenak ia melihat baju yang menempel di tubuhnya. Kemudian ia menoleh ke belakang. “Kau memanggilku?” Tanyanya.
“Iya, siapa lagi kalau bukan kau” Jawab orang itu sambil berjalan mendekati gadis tersebut.
“Namaku bukan ‘heh’ ataupun ‘kau’. Aku punya nama!” Balas gadis itu dingin.
“Kau pikir aku mempedulikan namamu”
Gadis itu memandang orang dihadapannya dengan tatapan benci. “Ada apa?”
“Kenapa kau menatapku seperti itu?” Tanya orang tersebut “Seharusnya kau berterima kasih kepadaku, ini uangmu ada yang terjatuh” Tambahnya sambil mengulurkan sebuah uang logam kepada gadis itu.
“Aku tidak membutuhkannya” Jawab gadis itu datar.
“Sombong sekali kau! Ini lumayan untuk membeli sesuatu”
“Dapat apa dengan uang sebesar itu?”
“Kau benar-benar sombong! Sudah bagus ada yang memberimu, daripada kau mati kelaparan”
“Aku lebih memilih mati kelaparan daripada seperti ini” Jawab gadis itu tegas.
“Dasar gila! Sudah ambil saja uang ini” Balas orang itu.
“Heh laki-laki tanpa nama, kau pikir kau siapa ha? Tidak usah memaksaku. Aku tidak membutuhkan uang itu!”
“Baru kali ini aku bertemu pengemis sombong sepertimu. Dasar tidak tahu diri”
“Apa kau bilang? Siapa pengemis? Aku bukan pengemis” Teriak gadis itu dengan nada serak.
“Lalu kalau bukan pengemis, kau siapa?” Tanya laki-laki itu dengan nada dingin.
“Aku bukan pengemis!!” Teriak gadis itu lagi sambil berlari menjauh.
Lelaki itu terdiam di tempatnya. Menatap punggung gadis yang berlari menjauh. “Dasar” Gumamnya.

Gadis itu terus berlari. Berlari sekencang-kencangnya menembus kegelapan malam. Ia berharap agar dapat keluar. Ia berharap ini hanya mimpi buruk. Gadis itu terus berlari, entah kemana. Ia ingin menemukan jalan keluar agar terbangun dari mimpi buruk ini.
“Bruuuk!!”
Gadis itu tersandung sebuah balok kayu. Tubuhnya tersungkur di aspal. Ia meringis kesakitan sambil memegang lututnya yang mengeluarkan cairan kental berwarna merah. Air matanya semakin deras membasahi kedua pipinya.
“Sakiiit” Rintih gadis itu. Tapi tak ada satu orang pun yang mempedulikannya. Semua hanya melewatinya tanpa ingin membantu. Dengan langkah terseok-seok gadis itu berusaha berjalan menepi. Ia melewati sebuah toko yang lapisan dinding luarnya dilapisi kaca. Terpantul bayangan seorang gadis dengan pakaian lusuh. Muka dan rambutnya yang sangat tidak terawat.
“Tidak! Ini pasti hanya mimpi!” Ucap gadis itu sambil menggelengkan kepalanya
“Itu pasti bukan aku!” Tambahnya lagi
“Hee pengemis, pergi kau! Nanti tidak ada orang yang mengunjungi toko ku!” Teriak seorang Ibu sambil membawa kalkulator di tangan kanannya.
“Aku bukan pengemis!” Bentak gadis itu.
“Dasar tidak tahu diri! Berkacalah siapa dirimu!” Balas ibu tersebut.
Gadis itu mengalihkan pandangannya ke dinding luar toko itu lagi. Itu dirinya. Ya, dirinya adalah gadis pengemis. Matanya mulai memanas. Tiba-tiba air mata keluar begitu saja mengalir di pipinya.
“Bodoh! Cepat pergi!” Teriak ibu pemilik toko itu lagi.
Dengan langkah gontai gadis itu melangkah menjauh. Tidak dihiraukan nyeri pada lututnya. Darah tetap mengalir deras dari lutut tersebut. Kemudian ia menghempaskan tubuhnya di salah satu bangku yang tersedia di pinggir jalan.
“Bangun! Ini hanya mimpi!” Teriak gadis itu sambil menampar keras kedua pipinya. Diulangnya berkali-kali tapi tidak ada yang berubah. “Ini nyata” Tangis gadis itu sambil menyentuh kedua pipinya yang terasa panas.
“Mengapa ini terjadi padaku Tuhan? Mengapa Kau mengambil kebahagiaanku secepat ini?” Gumamku gadis itu
“Ma, Pa, aku takut” Ucapnya lagi sambil memandang langit malam.

“Bangun! Dasar gelandangan menyusahkan!” Teriak seseorang sambil menendang keras punggung gadis itu.
“Cepat Bangun!!” Tambah orang itu dengan menambah kekuatan tendangannya.
Gadis itu terlonjak kaget. Ia meraba punggungnya yang terasa nyeri. “Bisakah kau sedikit halus?” Tanya gadis itu dengan emosi.
“Gelandangan sepertimu tidak pantas mendapat perlakuan halus! Cepat pergi!” Jawab seseorang itu sambil menekuk kedua tangannya di pinggang.
Gadis itu kemudian berdiri dan berjalan terseok-seok menjauhi toko mainan tersebut. Tubuhnya sangat lemas mengingat perutnya tidak kemasukan apapun tadi malam. Tapi ia terus berjalan menelusuri jalanan yang tak berujung. Pandangannya menangkap kalender elektronik di tepi jalan. 10 Juni 2013. Hari ini ulang tahunnya. Gadis itu hanya tersenyum kecut.
“Siapa peduli dengan ulang tahun gelandangan sepertiku?” Ucapnya sinis. “Dipertambahan usiaku, hidupku justru semakin suram seperti ini. Sebatang kara, tidak mempunyai apapun” Tambahnya dengan senyum sinis menghiasi wajahnya.
“Lelucon! Ini pasti lelucon takdir! Leluconmu tidak lucu, takdir! Berhentilah mempermainkanku!” Teriaknya frustasi.
Semua mata yang lewat memperhatikan gadis itu, dengan berbagai macam tatapan. Simpati, bingung, tak acuh bahkan ada tatapan merendahkan yang ditujukan pada gadis itu.
“Gila!” Celetuk seseorang
Tapi tak dihiraukan oleh gadis tersebut. Ia tidak peduli dengan orang lain. Yang ia pedulikan adalah hidupnya kembali seperti setahun yang lalu. Hidup bahagianya. Hidup bersama kedua orangtuanya. Bukan hidup gelandangan seperti sekarang. Bukan hidup yang penuh dengan tatapan merendahkan seperi ini.
Gadis itu mendongakkan kepalanya. “Ada apa? Apa yang kalian lihat?” Bentaknya kepada beberapa orang yang mengerumuni dirinya.
Tiba-tiba salah seorang dari mereka melemparkan uang logam kepadanya. Gadis itu memandangi logam berwarna kuning itu. Logam yang dulu sangat tidak dianggapnya tapi kini ia merasa sangat membutuhkannya. Dengan cepat ia meraih uang tersebut dan menggenggamnya erat.
“Sudah merasa kalau uang logam itu berarti?” Ucap seseorang tiba-tiba
“Kau?” Balas gadis itu kaget
“Iya aku, laki-laki tanpa nama”
Gadis itu menundukkan kepalanya. “Maafkan aku” Ucap gadis itu pelan
“Kau seharusnya lebih bisa menerima takdir”
“Bagaimana aku bisa menerima kalau seperti ini?”
“Kau harusnya bersyukur…”
“Apa bersyukur? Apa yang patut ku syukuri?” Potong gadis itu
Lelaki itu hanya tersenyum kecil. “Lihat anak itu!” Ucap nya sambil mengacungkan telunjuknya ke depan. “Umur anak itu jauh dibawahmu, tapi dia sama sepertimu. Sebatang kara dan tidak mempunyai apapun. Kau masih di beri anggota tubuh lengkap dan sehat sedangkan dia? Dia tidak sempurna, dia tidak memiliki dua tangan yang sempurna” Tambah lelaki itu
Gadis itu termenung. Mencoba mencerna kata-kata yang diucapkan oleh lelaki disampingnya itu. Benar. Ya, yang dikatakan lelaki itu memang benar. “Mengapa takdir tidak adil untukku dan untuk anak itu?” Tanyanya
“Cari taulah sendiri. Suatu hari kau pasti menemukan jawabannya” Jawab lelaki itu sambil tersenyum
“Lalu apa yang harus kulakukan sekarang?”
“Menurutku, kau hanya perlu belajar menerima takdir dan jalani hidupmu dengan ikhlas. Selanjutnya, terserah kau”
“Bagaimana cara aku belajar?”
“Kau terlalu banyak bertanya” Jawab lelaki itu “Ikuti aku!” Ajaknya

Mereka berjalan menelusuri trotoar. Gadis itu memandang lelaki di sebelahnya dengan bingung. “Kita mau kemana?” Tanyanya
Tapi lelaki itu tidak menjawab. Ia terus melanjutkan langkahnya. Dan pandangannya tetap menatap ke depan. Namun, senyuman kecil tercetak dibibir kecilnya. Tiba-tiba langkah mereka terhenti.
Gadis itu menatap bangunan dihadapannya. Begitu megah dan indah. Gadis itu tidak mengerti, mengapa baru sekarang ia menyadari bahwa bangunan itu sangat indah. Ia merasa sangat damai. Tapi ia tidak mengerti untuk apa lelaki itu mengajaknya ke tempat ini.
“Untuk apa kau mengajakku ke sini?” Tanyanya
Namun hanya hening. Lelaki itu tidak menjawab. “Mengapa…” Pertanyaan gadis itu terhenti saat menyadari tidak ada orang di sebelahnya. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan lelaki itu. “Kemana dia?” Gumam gadis itu pelan. “Tidak, lebih tepatnya siapa dia?” Tambahnya kebingungan.
Gadis itu terdiam sejenak. Kemudian ia tersenyum kecil. ‘Aku tak tahu siapa dirimu, tapi yang kuketahui kau ingin menunjukkan jalan yang benar kepadaku. Terima kasih’

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »