CERPEN : Ramuan keabadian part1

Kiriman dari: Katrin Kim

“Ini ramuan keabadian?” tanya Andre kepada pria bersetelkan kemeja dan jas putih itu.

Umurnya mungkin sudah setengah abad, tapi wajahnya masih segar. Andre benar-benar tidak percaya sambil memegang botol ramuan yang ukurannya tidak bisa dibilang besar. Apa pria itu begitu terobsesi dengan dunia gaib? Andre tidak percaya dengan dunia gaib. Begitupun orang-orang. Menurutnya. Andre menatap pria itu. “Tidak ada yang namanya ramuan keabadian. Anda salah. Mungkin ini racun?” Andre merasa curiga.

“Bukankah anda ingin menikmati pekerjaan Anda sekarang ini? Atau Anda punya sesuatu yang belum Anda lakukan? Ini akan memerpanjang waktu Anda.”
“Ah benarkah? Haruskah aku meminumnya sekarang?” tanya Andre sambil menyunggingkan senyum.
“Boleh-boleh saja.” Wajahnya berubah misterius. Begitu meyakinkan.

Andre melangkah melewati garis-garis putih yang melintang di jalanan yang digunakan untuk menyeberang, mengambil mobilnya yang ada di ujung sana. Sambil tersenyum lebar dia berjalan, tidak menyadari mobil berkecepatan tinggi akan memakan korban, yaitu dirinya. Dengan santai dia menengok ke kanan. Kejadian tak terduga olehnya terjadi. Andre hanya melongo melihat sang supir membentaknya karena tidak melihat kanan kiri. Andre hanya mengucapkan maaf, kemudian berlari dan menjalankan mobilnya.
“Astaga, ramuannya bekerja.” Andre tertawa sinis. “Sungguh hebat pria itu.” lanjutnya.

Pekerjaan sebagai penghias kue membuat Shania mengabaikan rasa lelahnya. Kue yang telah dia hiasi siap dimasukkan ke dalam kardus dan dikirim ke pelanggannya.
“Erika, sudah siap!” katanya ceria. Shania membuka celemeknya dan menggantungnya di dapur. Bersiap untuk pulang.
“Aku pulang dulu ya! Sahutnya kepada teman-temannya dan disambut dengan tawa dan senyum.

Shania ingin mengambil sepedanya. Tapi sepedanya oleng Sepertinya baru saja ditabrak.
“Jangan-jangan ada yang ingin mencuri sepedaku!” Shania bergegas menghampiri sepedanya.
Andre ke luar dari mobilnya dengan santai memerhatikan Shania yang sedang mendirikan sepedanya. “Sepeda itu, punyamu? Oh maaf tadi aku menendang sepedamu. Menghalangi jalanku.” katanya.
Shania mencibir, “Ah sepertinya badan kamu terlalu besar. Obesitas?” Shania senang, lelaki itu mulai terpancing karena dia mengetatkan jasnya untuk memerlihatkan badannya yang ramping.
“Aku ganti. Besok.” Mimik wajahnya menyebalkan, menurut Shania.

Salah sekali kalau dia memarkirkan sepedanya di tempat makan yang mewah. “Aku harus minta uang yang banyak!” Shania mengeraskan suaranya. Berharap didengar orang yang obesitas itu. Shania sadar mengapa dia mengumpat tidak jelas dan mengeluarkan suaranya terlalu banyak. Sangat boros. Setiap hari seperti ini dan dia hanya mengangguk, menjawab singkat, dan kebiasaan tersenyum. Akhirnya Shania pulang ke rumah dengan sepeda manisnya itu.

Keesokan harinya Shania menemui Andre yang berada di balik meja marmernya itu. Rupanya dia sudah memberikan izin untuk menemuinya. Seperti biasanya. Sudah tiga kali dia Shania mondar-mandir masuk ke ruangan ini. Mudah sekali.
“Bapak Andre sangat ingin meminta ganti rugi.” Shania memulai percakapan.
“Berapa?”
“Tujuh ratus ribu.”
“Oke. Aku kira kamu meminta satu miliar. Berapa lagi, besok?” Andre mengeluarkan dompetnya.
“Kalau boleh saya minta satu miliar, tidak apa-apa. Mungkin akan lebih besar dari tujuh ratus ribu.” Balas Shania.
“Kamu meminta tujuh ratus ribu lebih dulu. Ini.” Andre menyodorkan uangnya ke tangan Shania.
“Oke. Permisi.” Shania langsung meninggalkan ruangan. Dan ditatap dengan penuh senyum oleh Andre. Shania merasa jijik dan mengerucutkan bibirnya. Tanda kesal. Shania menutup pintunya keras-keras.

Keesokan harinya, Andre melihat mobilnya yang terpakirkan di halaman kantornya. Dia berjalan kaki, mengabaikan mobilnya. Dengan ekspresi seperti biasa, namun mengumbar senyum pahit sesekali ia memandang wajah seorang anak kecil di dalam dompetnya. Entah kenapa ia merasa saat ini adalah saat yang tepat, untuk menuntaskan semua yang ada di benak Andre. Ia berhenti di depan toko kue yang tak jauh dari kantornya. Baunya harum dan membuat orang lapar. Bahkan sebelum masuk ke dalam pun, dia sudah dilayani oleh pekerjanya.

“Oh bapak? Ke sini? Mau bikin ulah apa lagi?” tanya Shania waspada. Dia teringat saat insiden mobil Andre menyibakkan air kotor menampar wajahnya yang baru saja pulang dari toko kue, saat beberapa kuenya jatuh, dan terakhir sepedanya. Apa dia mau melemparkan kue padanya?
“Saya mau ambil kue pesanan saya.” Sahutnya seperti biasa.
“Oke. Silakan masuk.” Jawab Shania akhirnya.

Mereka memasuki toko kue yang berbau harum itu. Tembok yang dicat dengan warna pastel dan di jendela dipasangi lukisan-lukisan indah. Di sana ada sofa yang berukuran sedang. Cocok untuk bersantai sambil makan kue dan minum kopi. Hiasan bunga dan dedaunan menambah pemandangan toko kue ini menjadi begitu romantis.
“Kue atas nama saya. Yang seperti ini.” Ujarnya. Andre menunjuk kue ulang tahun yang berwarna putih, yang di atasnya berdiri patung Mickey dan Minnie Mouse. Shania agak heran.
Lelaki seperti dia membeli kue seperti itu, yang benar saja.
“Oke.” Kemudian dia mengangguk. Mungkin ulang tahun anak-anak. Mengambilkannya dari dapur. Kemudian membuka kardusnya untuk dilihat lagi. Hal ini membuat Shania terkejut bukan main. “Happy birthday Shania” Begitulah yang tertera pada kue ulang tahun itu.
“Happy birthday..” Jeda sejenak. “Shania?” Tanya Shania. Sepertinya dia salah mengambil kue atau temannya salah menulis nama karena sibuk sekali. Dan dijawab dengan anggukan.

Jantung Shania berdegup kencang. Terkejut. Wajahnya merah padam sepertinya. Shania berusaha menahan diri seolah tak terjadi apa-apa. Tapi ini mungkin kebetulan. Menutup kue itu dengan tutupnya kembali, membungkusnya dengan plastik dan memberikannya kepada pemuda itu sesudah transaksi selesai. Namun pria itu tak bergeming.
“Bawakan saja untuk saya. Shift kamu sudah selesai bukan? Tidak jauh dari sini. Mobil saya ada di kantor. Karena gak jauh jadi saya tinggalin di sana.” Katanya.
“Oke. Saya bantu.” Jawab shania. Sepertinya orang ini jarang membawa yang berat-berat. Layaknya kue ini. Apa pengawalnya belum datang?

Mereka berjalan di sebuah taman yang tak jauh dari toko kue tempat Shania bekerja, berdiri di tengah taman itu. Menyala lilin-lilin yang dipasang di sekeliling taman itu. Balon-balon berwarna-warni diikat di pohon-pohon. Mesin yang menegeluarkan gelembung-gelembung sabun yang biasanya ditiupkan untuk menghibur anak-anak. Ya pasti anak-anak. Tapi mengapa harus selarut ini? Dia kemudian membuka kardus, mengambil kuenya dan menyalakan lilin seperti yang diperintahkan Andre. Tiba-tiba Andre mengambil kue itu. Shania bingung lalu bertanya, “Di manakah orangnya?”

Mendadak lampu warna-warni menambah keceriaan taman itu. Shania takjub melihatnya. “Yang mana?”
“Selamat ulang tahun Shania.” Andre berucap sambil tersenyum tulus di hadapannya. “Maaf uda bikin kamu uring-uringan dari kemarin. Ini aku, Andre. Kamu pasti udah tahu kan?”

Bersambung

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »