CERPEN : Ketika aku mencintai dia part1

“Guwe ada di bandara, tapi..” Kata Dimas dari ujung telepon.

“Hmm? Tapi apa?” Sahutku malas.

“Ga ngerti deh, kaya ada yang salah.” Balasnya dengan nada gusar.

“Apanya yang salah? Emang lu mau kemana?” Tanyaku sambil memainkan poni.

“Singapur.. Gak apa-apa kan guwe pergi?”

“Oh.. Ya gak apa-apa lah, emang kenapa?” Aku mulai tidak nyaman dengan percakapan ini. Singapur. Kenapa harus ke sana? Batinku.

“Gitu yaa.. Gak apa-apa.” Sahutnya membeo.

“Iya gak apa-apa. Udah ah, guwe mau kerja. Hati-hati.” Kataku dengan berat hati.

“Oke, thank you, Ra. Guwe cinta banget sama lu. Emang cuma lu yang bisa nenangin guwe. Bye.” Sambungan telepon pun terputus.

Ya ya ya.. Lagi dan lagi. Layaknya orang bodoh, aku terus berharap dia melihatku sebagai perempuan yang mencintainya tapi itu seperti berharap negara ini bebas dari segala hutang. Hampir mustahil.

Singapura. Apa lagi kalau bukan untuk bertemu Mira. Bertahun-tahun aku memendam perasaan ini dari Dimas, dan bertahun-tahun juga dia belum bisa melupakan Mira. Lucu ya kedengarannya, kami seperti sedang bergabung dalam lomba maraton.

“Woy! Ngelamun aja, mikir jorok lu yak?” Seru Fika, teman kantorku.

“Eh? Ah sialan lu ngagetin aja.” Kataku memanyunkan bibir.

“Elah lagi mikir apa si Raa.. Dimas lagi?” Tanyanya sambil membuka stoples permen di mejaku yang sengaja ku sediakan untuk dia yang suka banget ngunyah.

“He eh.. Kayanya kali ini guwe udah final deh.”

“Final apaan? Kaya lagi tanding bola aja lu.”

“Guwe udah final, guwe mau lepas dia, Fik. Nyesek guwe gini terus.” Kataku lirih.

“Hmm? Emang doi ngapain lagi? Mira lagi?” Tanyanya skeptis. “Ira, Ira, udah bertahun-tahun lu demen sama dia, dan masalah lu masih seputar doi yang belom bisa move on. Makanya ungkapin! Kali aja kalo doi tau lu demen, doi bakal berpaling. Gak menutup kemungkinan kan?” Ada benarnya juga apa yang diomongi Fika. Tapi aku tidak punya keberanian sebesar itu untuk bisa mengungkapkan perasaanku. Dan harga yang ku pertaruhkan sangat besar. Jika perasaan ini tak berbalas, aku dan Dimas tak mungkin bisa seperti biasa lagi. Akan ada jarak di antara kita.

“Aaarrrg.. Tauk ah! Udah gih sono lu, guwe mau kerja nih. Tar si Tusuk Gigi ribut.” Seruku. Pusing ah pagi-pagi sarapannya pakai galau.

***

Sudah tiga hari berlalu sejak Dimas terakhir kali menghubungiku. Banyak tanya mulai berkecambuk, seperti apakah dia sudah bertemu Mira, perempuan yang telah meninggalkannya demi bersama pria lain? Apakah dia sudah kembali ke Jakarta? Apakah dia dan Mira kembali pacaran?

Sudah belasan tahun aku mengenal Dimas. Entah sejak kapan perasaan ini mulai ada, yang aku tahu pasti aku tak bisa menggantikan posisinya dengan laki-laki lain. Pernah satu kali aku coba untuk membuka hati bagi laki-laki lain, bahkan sampai pacaran. Namun, ujung-ujungnya aku putus, dan kembali dengan perasaanku pada Dimas.

“Yah.. Kayanya guwe emang harus ngelepasin dia.” Kataku lirih pada Kuri, kura-kura peliharaanku.

“Ra.. Ira.. Ada Dimas nih!” Teriak Rayi, adikku dari lantai bawah. Deg! Dimas sudah kembali. Tanpa sadar aku langsung lompat dari atas kasur dan merapikan diriku di depan kaca. Duh, kenapa tadi gak keramas sih? Sesalku dalam hati.

“Hi baby, lagi apa lu?” Sapa Dimas di depan pintu kamarku.

“Ih, ngapain lu ke sini? Udah puas liburannya?” Tanyanku nyinyir.

“Ah.. Puas banget, Ra. Harusnya kemarin lu ikut guwe. Serius de seru banget.” Iya, biar guwe bsia liat lu mesra-mesraan sama Mira? Sahutku dalam hati.

“Elah segitunya amat. Kalo lu ke Raja Ampat baru guwe nyesel ga ikut.” Kataku kemudian duduk di atas kasur.

“Di sana guwe ketemu Mira, Ra.” Deg! Aku benci nama itu disebut.

“He em? Terus?” Tanyaku melengos. Agar ekspresi kesalku tak terlalu kelihatan, aku mengambil majalah kemudian mulai melihat-lihat.

“Iya, guwe ajak dia ketemu. Guwe rasa ada yang perlu guwe selesaikan sama dia.” Kata Dimas sambil melihat lantai kamarku.

“Hmm.. Terus?” Tanyaku acuh.

“Awalnya dia gak mau. Tapi guwe bilang ini untuk yang terakhir kalinya.” Terakhir kali? Tanpa ku sadari aku tersenyum mendengar kata itu. “Guwe sadar guwe belum bisa berdamai dengan pengkhianatan yang dia lakuin. Tapi setelah guwe pikir-pikir, guwe juga pasti punya andil kenapa dia begitu. Guwe bilang sayang, tapi cuek. Ya begitu lah. Dan waktu kemarin ketemu, guwe bilang guwe udah maafi dia, dan guwe juga minta maaf.” Terang Dimas.

“Wow.. Terus sekarang gimana? Lu gak nangis kan?” Aku masih menjaga nada skeptisku.

“Gak lah. Kalo lu mau tau rasanya, rasanya tu kaya lu gak berak tiga hari, dan akhirnya semuanya keluar. Legaaa.. Lega banget guwe, Ra. Akhirnya guwe bisa ngelepasin dia.”

“Hmm.. Sounds good.” Oh Tuhan, apakah ini artinya aku punya harapan baru?

“Kok lu reaksinya gitu sih? Lu gak seneng sahabat lu ini akhirnya bisa move on?” Tanya Dimas dengan bibir manyun.

“Hahaha.. Oke, selamat ya nyet!” Kataku mengalihkan pandangan dari majalah yang dari tadi hanya ku bolak-balik. Mungkin aku juga perlu melakukan apa yang dilakukan Dimas. Bicara dan melepaskan.

“Lu bantuin guwe beres-beres ya besok.” Kata Dimas sambil mengambil posisi tidur di atas kasurku.

“Beres-beres? Mau kemana lu? Pindah rumah?” Tanyaku penuh rasa ingin tahu.

“Minggu depan guwe mulai kerja di kantor guwe yang cabang Singapur.” Jawabnya santai sambil memejamkan mata. Wait.. Apa? Tuhan, apa lagi ini? Erangku dalam hati.

“Kok lu ga bilang-bilang mau pindah cabang?” Tanyaku, menuntut.

“Ini guwe bilang. Gak lama kok, cuma dua tahun. Dan ini Singapur, bukan Mars ato Pluto. Guwe masih bisa sering-sering balik. Ato lu yang main ke sana. Santai, baby.” Tangan Dimas mulai memainkan rambutku. “Rambut lu kok bisa sempurna gini ya.. Guwe iri.” Kampret ni anak, guwe lagi ketar-ketir mikirin dia pergi malah sibuk mainan rambuk, makiku dalam hati.

“Iya tapi kan, kenapa baru sekarang ngasih taunya? Berarti kemarin lu ke sana bukan sengaja buat ketemu Mira?”

“Karena kemarin masih belum pasti, guwe males tar lu mulai bawel dan mikirin hal ga penting yang belum pasti. Dan, iya, guwe ke sana emang mau urus kepindahan bukan sengaja mau ketemu Mira. Pokoknya guwe gak mau tau, lu harus bantuin guwe beres-beres. Kosongin jadwal lu.” Kata Dimas lalu tertidur.

***

Sebelum berangkat ke rumah Dimas, aku menyempatkan diri membuat roti panggang pakai penaut butter kesukaan dia. Bagi Dimas, apapun yang diolesi penaut butter rasanya pasti enak.

“Mah, Ira ke rumah Dimas dulu ya. Mau bantu beres-beres.” Jeritku pada Mama yang lagi mandi di lantai dua.

Rumahku dan rumah Dimas hanya berjarak beberapa blok, karena itu aku lebih suka naik sepeda atau jalan kaki ke rumahnya.

Tok.. Tok.. Tok..

“Dim, ada Ira nih.. Naik aja, Ra.” Kata mbak Dewi, kakak perempuan Dimas, yang sudah menikah dan tinggal di perumahan yang sama. Karena Rayi anak mbak Dewi masih bayi, dia memutuskan untuk berhenti kerja dan menjadi ibu rumah tangga full time.

“Oke mbak. Em, aku mau nyapa Rayi doong.” Bercengkrama dengan bayi gendut itu selalu bisa membuat hatiku senang.

“Ada tuh lagi main sama mbahnya. Baru abis pup dia.”

Tak banyak membuang waktu aku langsung menuju ruang keluarga. Di sana ada Rayi dan tante Rina, mamanya Dimas.

“Eh ada onty Ira. Sini onty.” Kata tante Rina dengan logat Solonya yang kental.

“Ah.. Rayi.. Apa kabar sayang?” Rayi yang baru berusia enam bulan tersenyum melihatku.

“Mau bantuin Dimas ya, Ra?” Tanya tante Rani.

“Iya tante, Dimas lagi ngapain sekarang?” Balasku sambil mencium pipi bulat Rayi.

“Kayanya belum ngapa-ngapain deh dia.” Kata tante Rani sembari mengalihkan mainan dari mulut mungil Rayi.

“Yaudah aku naik dulu ya, tante.” Pamitku. Baru menginjakkan kaki di tangga kedua suara tante Rani kembali terdengar.

“Oya, Ra, tanyain Mira mau sarapan apa. Kasian dari pagi kayanya belum makan.” Mira? Tiba-tiba kakiku berhenti melangkah, seakan otakku berhenti bekerja.

...bersambung...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »